RENUNGAN, 26-06-2009 || DAILY SERMON
Mateus 8:1-4
Cuaca yang kurang bersahabat membuat banyak orang jatuh sakit. Saya tidak tahu apa keadaan anda sekarang tetapi harapan saya semoga anda dalam keadaan yang sehat, kalaupun anda sedang sakit harapan saya semoga anda cepat memper-oleh kesembuhan.
Ada aneka penyakit yang diderita manusia baik fisik maupun psikis. Berhadapan dengan sakit yang aneka ini, ada yang dapat kita tangani sendiri, ada lagi yang perlu bantuan orang lain. Tetapi ingat, ada pula orang yang sakit-sakitan, sekedar untuk mendapat perhatian dari orang lain. Kata orang, fisik yang tidak fit dapat mempengaruhi suasana batin dan sebaliknya batin yang ku-rang beres bisa mempengaruhi cuaca relasi kita dengan yang lain.
Sakit berarti salah satu organ tubuh tidak dapat melakukan fungsinya sebagaimana mes-tinya. Saat itu kita tidak dapat tampil seperti kita biasanya. Sakit atau penyakit yang kita derita bisa membuat kita semakin mendapat perhatian bisa juga sebalik menye-babkan kita terisolasi, memperganda penderitaan si penderita. Satu keinginan yang tidak bisa diingkari, setiap orang sakit selalu ingin disembuhkan. Ini satu keinginan yang sangat manusiawi karena sakit itu sendiri tidak pernah diinginkan oleh siapapun.
Satu saat entah kapan, dua ribu tahun silam, setelah turun dari bukit, diikuti banyak orang, Yesus didatangi seorang yang sakit kusta, demikian kata Mateus dalam kisahnya. Orang ini langsung bersujud menyembahnya dan meminta untuk disembuhkan, "kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku". Melihat pen-deritaan orang itu dan kerinduannya yang besar untuk disembuhkan, Yesus mengabulkan permintaannya, ia disembuhkan. Dari kisah ini ada beberapa hal yang dapat kita petik untuk memberi warna yang khas bagi kehadiran kita dalam kebersamaan. Pertama, "kalau Engkau mau", membutuhkan bantuan orang lain kita perlu meminta, merendah", cara untuk menggugah hati orang yang diminta. Karena caranya mendekati Yesus, Yesus bersedia menyembuhkan dia. Banyak kali permintaan kita ditolak karena kita tidak tahu cara meminta, kita tidak memberikan kebebasan untuk orang yang diminta memutuskan mana yang terbaik untuk kita. Kedua, penyembuhan itu terjadi, ketika Yesus sedang mengajar. Kebaikan dan perhatian kita terhadap orang lain jangan terbatas pada teori dan kata-kata. Kebaikan dan perhatian kita mesti dinampakan dalam tindakan nyata. Kita adalah orang baik bukan karena karena kata-kata kita tetapi karena apa yang kita lakukan mendatangkan kebaikan bagi sesama, merubah kisah hidup mereka. Ajaran dan praktek hidup kita mesti saling menjiwai bukan omong lain, buat lain. Tempta di mana kita berada mesti menjadi arena pembuktian diri bahwa kita sungguh orang-orang baik, kesempatan untuk mengekspresikan rasa sosial yang kita miliki di mana keprihatinan kita terhadap hidup sesama dapat dituangkan dalam tindakan nyata. Situasi krisis yang sedang kita alami sekarang ini butuh kesediaan kita untuk masuk ke dalam kehidupan sesama, ikut merasakan apa yang sedang mereka rasakan. Bila kita dapat merasakan apa yang mereka rasakan, kita akan mampu menolong mereka tanpa banyak perhitungan. Begitu sering soal yang ada, beban hidup sesama tidak dapat diringankan karena kita tidak bersedia turun gunung; kita lebih banyak berteori tentang saling membantu tanpa tindakan nyata. Ketiga, penyakit kusta. Penyakit ini membuat si penderita mengalami penderitaan ganda; menderita karena penyakit ini, menderita karena mesti dijauhkan dari kebersamaan. Padahal penyakit ini sekarang sudah bisa disembuhkan dan orang tidak mesti diisolasi. Kita bukan si kusta tetapi kita toh dijauhkan dari keber-samaan seperti si kusta karena ulah kita, kehadiran kita tidak memberi nilai tam-bah bahkan sebaliknya mendatangkan penderitaan bagi sesama. Keempat, si sakit disembuhkan karena ia punya keinginan untuk sembuh dan bersedia untuk ditolong. Di sini sikap kitapun menentukan ada tidaknya penyembuhan. Banyak dari kita tidak dapat ditolong karena kita tidak mau dikatakan sakit, kita berbuat seolah-olah semuanya beres, punya keinginan untuk sembuh tetapi tidak punya kesediaan untuk ditolong karena malu atau gengsi. Mestinya kita sadar bahwa kitalah perpanjangan tangan Yesus untuk dapat mengurangi beban hidup sesama. Yang menjadi soal bukan bisa atau tidak tetapi apakah kita bersedia atau tidak.
Mungkin secara fisik kita bukanlah orang-orang kusta tetapi secara psikis situasi hidup kita tidak jauh berbeda dari mereka yang mengalami penyakit ini, kita adalah orang-orang yang perlu ditolong. Lalu siapakah kita dalam dunia semacam ini? Seorang Yesus yang siap turun gunung dan mau ikut merasakan apa yang sedang dirasakan sesama ataukah kita adalah orang-orang yang suka bisa banyak tentang orang kecil teapi tidak bersedia merasakan apa yang sedang mereka rasakan? Mungkinkah kita adalah orang-orang kusta; penderita aneka penyakit kebersamaan yang punya keinginan untuk sembuh dan rela disem-buhkan? Kesembuhan hanya mungkin dan hidup normal dapat tercipta bila punya keinginan untuk berubah dan siap untuk berubah.